Kenapa? Gak suka dengan judulnya? Kan suka-suka Mimin kasih judul he... Kadang-kadang Mimin ngasih judul yang nggak sinkron dengan isi artikel, kadang juga artikel sudah basi tapi Mimin kasih judul baru dan akhirnya sobat pun TERTIPU he... Cuma bercanda dan jangan diambil hati.
Beberapa hari ini ramai pemberitaan soal protes Singapura terkait TNI AL yang menamai salah satu Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) dengan nama KRI Usman Harun. Nama itu diambil untuk mengenang Sersan Usman Haji Muhammad Ali dan Kopral Harun Said, keduanya adalah prajurit dari Korps Komando Operasi (KKO) TNI AL (sekarang Korps Marinir) yang dieksekusi dengan hukuman gantung di Singapura atas aksi mereka yang membom MacDonald House di Orchard Road, Singapura pada 10 Maret 1965.
Panglima TNI Jenderal Moeldoko menegaskan tak akan mengubah nama KRI Usman-Harun. Pria kelahiran Kediri itu menjelaskan, pemberian nama "Usman-Harun" untuk kapal perang TNI AL tersebut sudah sesuai prosedur. Pemilihan nama untuk kapal perang TNI AL diambil dari nama-nama para tokoh atau pejuang yang memiliki jasa tinggi untuk Indonesia.
"Tidak ada yang berubah dari penamaan itu (KRI Usman-Harun)," ujar Moeldoko. Pemberian nama itu sendiri dilakukan melalui proses yang cukup panjang.
Permasalahan yang dipersoalkan Singapura sebenarnya telah lama selesai. Pada tahun 1973, ujar Moeldoko, PM Singapura Lee Kuan Yew pernah menaburkan bunga di makam Usman dan Harun di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta Selatan.
Moeldoko juga menegaskan bahwa tidak ada kerenggangan hubungan terkait polemik ini. "Tidak ada ketegangan di perbatasan, pemberian nama tak ada kaitan membangkitkan emosi. Kita pikir begitu," tandasnya.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan, Indonesia memiliki otoritas dan pertimbangan matang memberikan penghormatan kepada pahlawannya, termasuk mengabadikan namanya menjadi nama kapal perang RI. Djoko menegaskan, Singapura tak berhak memberikan intervensi terkait penamaan KRI Usman-Harun.
Kronologi Gugurnya Usman Harun
Usman dan Harun telah gugur dalam usaha mempertahankan kedaulatan negara dan kehormatan bangsa. Hal itu terjadi di masa perjuangan Dwikora, ketika konfrontasi dengan Negara Malaysia, seperti yang dikutip dari laman TNI AL, Senin (10/2/2014).
Pada 31 Agustus 1957 berdiri negara Persemakmuran Malaya. Saat itu, negara Malaysia berpeluang untuk memperluas wilayahnya, karena pada saat bersamaan, Singapura ingin bergabung dalam persemakmuran, namun ditolak oleh Inggris.
Kemudian pada 16 September 1963 dibentuk federasi baru bernama Malaysia yang merupakan negara gabungan Singapura, Kalimantan Utara (Sabah), dan Sarawak.
Kesultanan Brunei kendatipun ingin bergabung dengan Malaysia, namun tekanan oposisi yang kuat lalu menarik diri. Alasan utama penarikan diri adalah Brunei merasa memiliki banyak sumber minyak, yang nanti akan jatuh ke pemerintahan pusat (Malaysia).
Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno sejak semula menentang keinginan Federasi Malaya yang tidak sesuai dengan perjanjian Manila Accord. Presiden Soekarno menganggap pembentukan Federasi Malaysia sebagai "boneka Inggris" merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia.
Maka dibentuklah sukarelawan untuk dikirim ke negara itu setelah dikomandokannya Dwikora oleh Presiden Soekarno pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta. Usman memiliki nama asli Sersan KKO Janatin alias Usman bin Haji Muhamad Ali.
Sedangkan Harun bernama lengkap Kopral KKO Tohir alias Harun bin Said. Usman adalah prajurit KKO kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 18 Maret 1943 dan Harun adalah kelahiran Pulau Bawean, 4 April 1947.
Pada Maret 1965, Usman, Harun dan Gani bin Arup, mendapat tugas khusus dari Komando Operasi Tertinggi (KOTI) untuk memasuki Singapura sebagai bagian dari perkuatan militer Indonesia untuk membantu para sukarelawan Indonesia di wilayah musuh.
Dengan menggunakan perahu karet, ketiganya berangkat tanggal 8 Maret 1965 dengan membawa 12,5 kilogram bahan peledak. Mereka mendapat perintah untuk melakukan sabotase ke sasaran-sasaran penting di kota Singapura. Sasaran tidak ditentukan dengan pasti, jadi harus ditentukan sendiri.
Tanggal 10 Maret 1965 mereka berhasil meledakkan bangunan MacDonald House yang terletak di pusat kota. Peristiwa itu menimbulkan kegemparan dan kekacauan bagi masyarakat Singapura.
Setelah melakukan aksinya, Harun dan Usman melarikan diri dan berhasil mencapai daerah pelabuhan, sedangkan Gani bin Arup mencari jalan lain. Sebuah motor boat berhasil mereka rampas untuk kembali ke Pulau Sambu.
Namun di tengah jalan, motor boat mengalami kerusakan mesin. Mereka akhirnya ditangkap patroli musuh pada 13 Maret 1965. Keduanya dibawa kembali ke Singapura untuk diadili. Pengadilan Singapura akhirnya menjatuhkan vonis hukuman mati. Pemerintah Indonesia pun melakukan berbagai usaha untuk meminta pengampunan atau keringanan hukuman, namun tidak berhasil.
Akhirnya pada hari Kamis tanggal 17 Oktober 1968, tepatnya pukul 06.00 pagi, keduanya menjalani hukuman gantung di dalam penjara Changi, Singapura. Jenazahnya kemudian dibawa ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan.
Pada hari yang sama di mana Usman dan Harun digantung untuk kejayaan bangsa ini, Pemerintah RI di bawah kepemimpinan Presiden RI Soeharto, menganugerahi keduanya dengan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI Nomor 050/TK/Tahun 1968, tanggal 17 Oktober 1968.
KRI Usman Harun
KRI Usman Harun merupakan nama salah satu dari tiga kapal korvet baru yang dibeli TNI AL dari BAE System Marine, Inggris.
KRI Usman Harun dilengkapi dengan rudal MBDA Exocet Block II anti-kapal serta rudal permukaan ke udara VL MICA. Exocet memiliki jangkauan 72 km dengan kecepatan 1.134 km per jam. Sedangkan, VL Mica memiliki jangkauan 80 km untuk memukul musuh dari udara.
Untuk pertahanan, korvet yang berbobot benaman 1.940 ton ini juga dilangkapi meriam Oto Melara 76mm yang terpasang di dek depan. Mampu menembakkan 110 butir amunisi dengan jarak tembak sejauh 16 km. Terdapat juga dua peluncur torpedo triple tube kaliber 324mm.
Dari sisi sensor, kapal ini memiliki sensor dan radar jammer yang lihai memantau pergerakan kapal musuh. Thales Sensors Cutlass 242 dan Scorpion radar jammer ini mampu mencegah serangan dari kapal musuh.
Sebagai tenaga propulsi, kapal ini dilengkapi empat mesin MAN 20 RK270 yang dipasang di kedua sisi kapal. Sehingga, kapal ini mampu melesat dengan kecepatan hingga 30 knot.
Rencananya, kapal ini akan tiba di Indonesia pada menjelang akhir tahun. Indonesia memesan tiga kapal sejenis yang diberi nama masing-masing KRI Bung Tomo, KRI Usman-Harun dan KRI John Lie. Ketiganya merupakan pahlawan nasional Indonesia.
Sumber: Intisari/Sindo/Merdeka/Antara
0 comments:
Posting Komentar
Mohon komentarnya untuk postingan ini :)